Kota Apung Bukan Lagi Fiksi Ilmiah Karena Perubahan Iklim

0
2242
Kota Apung Bukan Lagi Fiksi Ilmiah Karena Perubahan Iklim

Kota Apung Bukan Lagi Fiksi Ilmiah Karena Perubahan Iklim – Seiring perubahan iklim yang terjadi terutama di kedua kutub bumi, industri teknologi mulai melayangkan ide-ide spektakuler agar bisa beradaptasi dengan bencana akibat pemanasan global.

Satu dari sekian banyak gagasan adalah memindahkan penduduk dari pulau-pulau pasifik dataran rendah di garis permukaan laut ke seasteds atau platform yang berfungsi sebagai tempat tinggal permanen di atas laut atau kota apung.

Baca Juga :

Jika dulu berhenti hanya menjadi kisah fiksi ilmiah, kini gagasan pulau terapung atau kota apung kemungkinan besar bisa diwujudkan setelah es dunia di kutub mencair dalam waktu begitu cepat.

Pemerintahan Kiribati bahkan sudah memikirkan tentang platform mengapung tersebut mengingat negaranya merupakan sebuah kepulauan di Samudera Pasifik.

Sementara itu, wilayah Polinesia Perancis tengah mengerjakan proyek hampir sama berkolaborasi dengan institut non profit asal California bernama The Seasteading Institute.

Direktur Eksektutif The Seasteading Institute Randolph Hencken mengatakan, proyek itu tinggal menunggu studi kelayakan ekonomi dan lingkungan.

“Kami memiliki misi menciptakan sebuah industri yang menyediakan pulau-pulau mengapung untuk orang-orang yang terancam kenaikan muka air laut.” katanya kepada The Times.

0724139seasteading780x390
The Seasteading InstitutePlatform pulau mengapung milik The Seasteading Institute.

The Seasteading Institut mengklaim telah mendapatkan 2,5 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau senilai Rp 33,42 miliar dari 1.000 lebih donatur.

Menurut survei yang dilakukan institut tersebut pada 2013 silam, lebih dari 1.000 orang ingin berada dan tinggal di pulau.

Dirancang oleh firma teknik akuatik DeltaSync, platform milik The Seasteading Institute mampu menampung berat bangunan tiga lantai.

Sebelas platform yang ada berkapasitas 250 orang, listrik tenaga angin berbasis laut, dan sumber energi terbarukan sehingga membuat kehidupan warga di dalamnya lebih pasti dan terjamin.

Tiap platform tersebut diestimasi akan menelan biaya tak kurang dari 15 juta dollar AS (Rp 200,6 miliar).

Jika dirata-ratakan maka seharga 5.000 dollar AS atau setara Rp 66 juta per meter persegi, sedikit lebih kecil dari harga tanah rata-rata di London atau New York.

Rencana ini bukannya tanpa kritik dan bahkan ada yang menganggapnya sebagai sebuah proyek gila.

Seorang arsitek asal Belanda yang memiliki spesialisasi dalam merancang bangunan air Koen Olthuis mempertanyakan tentang banyaknya biaya yang dihabiskan dan apa tujuan di balik itu semua.

“Dengan uang miliaran, Anda bisa menyelamatkan 300.000 orang. Namun, Anda juga bisa membawa mereka jauh dan menempatkannya di negara lain serta menggunakan bangunan-bangunan tersebut untuk menolong orang-orang di kawasan kumuh di seluruh dunia,” tandas Koen.

Sumber : kompas.com

SHARE